Cerita Sex Dengan Tahanan Penjara
Seperti pada umumnya pasangan muda yang sama-sama bekerja mengakibatkan urusan pekerjaan rumah terpaksa dikerjakan oleh pihak lain dalam hal ini pembantu rumah tangga.
Kita menempati sebuah rumah mungil dengan dua kamar tidur, yang terdiri dari satu kamar agak besar untuk kita di bagian depan, sementara yang satu lagi di bagian belakang dengan ukuran sedang dicadangkan untuk anak kita kelak; kita berniat ingin mempunyai anak satu saja.
Karena kita belum mempunyai anak, maka kamar tersebut lebih sering digunakan sebagai kamar tamu. Sementara itu kamar prt (pembantu rumah tangga) ada di bagian belakang. Istriku adalah anak bungsu dari lima bersaudara, sementara aku adalah anak nomor tiga dari enam bersaudara - karena kita berdua dari keluarga besar, dengan alasan inilah kita ingin mempunyai anak tunggal saja.
Pembantu rumah tanggaku telah berganti beberapa kali, mungkin tetangga melihat kita berdua itu seperti apa gitu, galak, jahat, atau sejenisnya. Kita berdua sepakat sebelum mempekerjakan prt bahwa tidak akan mempekerjakan prt yang telah berumur. Selain risih menyuruh orang tua, juga gimana sih kalau minta tolong sama orang yang berumur, nggak tega. Walaupun dia prt, khan manusia juga. Biasanya prt yang telah berumur memang tidak sekuat yang muda, tetapi lebih telaten, dan biasanya masakannya lumayan enak.
Kemudian diusahakan jangan yang janda. Ini permintaan istriku sendiri. Alasannya membuat aku ketawa, dia bilang kalau janda khan udah pernah merasakan hubungan intim, terus kalau pas lagi “nafsu”, khan bisa repot. Repotnya, dia bisa “main” sama tetangga, terus mainnya di rumah kita, khan jadi kacau urusannya. Kalau prianya baik. Kalau nggak? bisa terkuras habis deh, isi rumah. Apalagi bila sampai aku digoda juga, katanya sambil memencet hidungku.
Pernah dapat pembantu dari suatu yayasan. Ternyata belum ada satu minggu sudah nggak betah. Akhirnya diganti oleh yayasan tanpa keluar biaya lagi. Nampaknya kejadian itu berulang, hingga akhirnya kita putusin tidak pakai prt, karena setiap ganti khan kita ngasih pengarahan pekerjaannya. Lha kalau tiap minggu ganti khan sama aja dengan kita yang mengerjakannya.
Karena kesibukan kantor, nampaknya kita nggak sanggup melakukan pekerjaan rumah lagi. Bayangin nyuci baju digabung dalam satu minggu dikerjakan hari sabtu, khan lumayan tuh. Aku yang nyuci istriku kebagian nyetrika pakaian seminggu. Dia yang masak apa adanya dan aku yang nyuci piring. Dia yang nyapu aku yang ngepel. Pertama sih biasa lama kelamaan nggak sanggup juga.
Kita dapet info ada tempat pengelolan prt (bukan yayasan). Yah kita coba. Kita ambil satu orang, sampai rumah sudah agak malam, eh, besok paginya udah hilang, ninggalin surat bahwa dia disekap sama pengelola itu, dan ngambil uang belanja di dekat kulkas, untuk pulang kampung katanya, sembari mengucapkan maaf dan terima kasih. Istriku geleng-geleng.
Yah, balik lagi kerja sendiri lagi. Ternyata lebih capek mengerjakan pekerjaan rumah yang nggak pernah ada habisnya. Makanya aku salut sama para ibu rumah tangga yang sehari-hari pekerjaannya ngurusin rumah yang kerja dari pagi hari sebelum matahari terbit hingga jauh malam hari - yang masak untuk keluarganya, yang dandan untuk suaminya (kalau pekerja khan dandannya bukan untuk suami, terus kalau di rumah pakaiannya seadanya, tul nggak?), yang memperhatikan semua anak-anaknya (hanya saat sekolah saja, dia tidak melihat), yang menyambut bila suami pulang kerja dengan cantiknya (khan cantik untuk suami), yang melayani kebutuhan suaminya dengan sepenuh hati.
Akhirnya kitapun dapat rejeki. Sebelah rumahku sedang memperbaiki rumah, saat istirahat siang selagi bicara masalah bangunan salah satu tukangnya menawarkan keponakannya untuk bekerja di rumahku; kalau sekedar merawat rumah dan bersih-bersih sih bisa katanya, hanya tidak bisa masak. Karena pengalaman dikerjain prt, aku coba menanyakan ke tetanggaku; si pemilik rumah, kenal nggak dengan tukang yang menawarkan prt itu. Ternyata dia kenal, karena perusahaannya mempekerjakan tukang itu (perusahaan tetanggaku bergerak di arsitektur), dan sedang dipinjam untuk memperbaiki rumahnya.
Aku dan istriku setuju untuk mengambilnya, saat dia pulang kampung dia mengajak keponakannya itu. Anaknya masih kecil, umurnya sekitar 16 tahun, hitam kelam, rambut ikal, kakinya nampak banyak bekas luka, agak kurus, seperti nggak terawat.
Sebelum pulang pak tukang, mengatakan bahwa dia menitipkan keponakannya untuk kerja di sini, mohon untuk dididik perilakunya, terasa lebih kekeluargaan ketimbang bisnis di yayasan tadi. Kalau dirasa nggak cocok, bisa hubungi di kantor tetanggaku dan dia akan membawanya kembali ke kampung. Sambil pamit aku memberikan uang pengganti transport yang dikeluarkannya.
Seperti biasa istriku memberikan contoh apa saja yang akan dikerjakan, tentunya bertahap, tidak sekaligus, biar dia nggak bingung. Hasil kerjanya cukup lumayan; rumah selalu bersih, pakaian tertata rapi. Biasanya aku sama istriku suka berantem nyari pakaian yang satu di mana, pasangannya di mana, kadang ada yang belum disetrika, kadang lupa belum diangkat dari jemuran di lantai atas). Kondisi saat ini boleh dibilang sudah lebih baik buat kita. Soal masak, karena prt-ku nggak bisa masak, jadi kita catering aja. Istriku juga nggak bisa masak, jadi dia nggak bisa ngajarin prt-ku (Istri yang sempurna khan harus 3M, macak/berias, masak, dan manak/hamil. Di sini m1 bagus, m2nya nggak bisa, tinggal m3 tunggu tanggal mainnya).
Tidak terasa udah sebulan. Mudah-mudahan dia betah lama tinggal di sini, soalnya nyari prt itu gampang-gampang susah. Dari istriku, aku tahu bahwa dia meninggalkan kampungnya karena bapaknya kawin lagi dan ikut dengan istrinya yang baru, sementara ibunya (adiknya tukang bangunan tadi) yang belum sempat dicerai pacaran dengan pria beristri. Runyamlah suasana rumahnya bila kedatangan istri pacar ibu-nya. Selain malu dengan tetangga, juga suasana rumah juga mendukung untuk meninggalkan kampung, sementara untuk ke bapak, sepertinya lebih berat dengan istri barunya ketimbang sama anaknya. Oleh sebab itu dia sangat senang dengan bekerja di tempatku.
Karena kerajinannya, istriku memberikan beberapa fasilitas padanya, mulai peralatan mandi untuknya, termasuk pembalut wanita, juga memberikan beberapa kosmetika bekas istriku yang masih bisa dipakai (hampir habis; tadinya oleh istriku sudah mau dibuang justru dia yang meminta), juga diberikan pakaian tidur. Semakin senang lah dia tinggal di rumahku. Dia juga jarang bergaul dengan para prt tetanggaku; ini merupakan keuntungan buatku, karena tidak tertutup kemungkinan ngerumpinya para prt, bisa membuat prt-ku loncat ke tetanggaku yang lain karena tergiur gaji yang lebih besar. Juga dengan lelaki, sepertinya dia anti laki-laki banget, mungkin karena di kampungnya dia punya masalah dengan beberapa laki-laki.
Lama kelamaan perubahan mulai terjadi. Yang tadinya dia datang kurus, hitam, pokoknya seperti orang nggak keurus, saat itu, sekarang udah agak berisi malah udah agak bulet badannya - mungkin perbaikan gizi. Kulitnyapun sudah tidak sehitam waktu baru datang, bisa jadi karena jarang keluar rumah, jadi nggak kejemur (dulu di kampung dia sering ke sawah). Udah gitu pakai handbody bekas istriku segala. Udah deh, asli berubah total. Pamannya aja sampai nggak ngenali sewaktu datang berkunjung.
Apalagi kalau lagi ngepel lantai (kita berdua, aku dan istriku nggak pernah ngepel dengan tongkat, tetapi dengan cara merangkak, selain lebih bersih, juga hitung-hitung olah raga - cara ini juga diterapkan ke prt), sepasang bukit kembarnya berguncang; sejalan dengan semakin bulatnya bentuk tubuhnya, payudaranyapun ikut berkembang, khan proporsional.
Pernah nih, dia pakai bra-nya, mungkin udah nggak muat kali, pentilnya kelihatan dibalik kaos tipisnya. Wah istriku, langsung menegurnya.
“Kamu pakai bajunya yang sopan, dong Min,” kata istriku. Mimin nama prt-ku.
“Habis punyanya hanya ini bu.”
Karena bra-nya ukuran untuk cup “A”, sementara saat ini sudah mencapai cup “C”, jadilah seksi banget gitu. Kita (aku dan istriku) tahu bahwa dia tidak mengada-ada, soalnya anaknya memang lugu (bukan lu-lu, gue-gue, lho), apa adanya.
Ditanya sama istriku kenapa kamu koq nggak belanja bra baru dengan gajimu.
“Sayang bu, rencananya uangnya nanti buat modal jualan di kampung aja, ya saya pakai apa adanya saja,” jawabnya polos.
Ternyata dia punya rencana. Bila sudah tidak diperlukan oleh kita lagi dia ingin wiraswasta, katanya. Hebat juga pikirannya; kataku dalam hati. Oleh sebab itu dia sayang banget dengan uang yang dia peroleh. Uangnya ditabung di Bank Capek Antri, dekat rumahku. Karena pekerjaannya bagus dan rajin, istriku menghadiahkan beberapa bra dan pakaian baru yang dia beli di pasar. Seneng banget dia menerimanya.
Pernah suatu siang hari aku menemukan dia sedang tertidur di ruang tamu sambil nonton televisi, atau lebih tepatnya televisi nonton dia tidur. Memang suasananya mendukung banget, siang hari, capek habis mencuci dan menyetrika, habis makan siang, hujan turun deras, sambil nonton telenovela, yah udah telap - tidur lelap.
Dia nggak tahu kalau aku datang. Aku dan istriku masing-masing pegang kunci rumah dan kamar tidur, sementara istriku masih di kantor, aku pulang untuk mengambil berkas yang tertinggal.
Tampak dia tidurnya pules banget. Hujan cukup lebat, hingga suara jatuhnya air cukup keras. Kuperhatikan roknya sudah tersingkap sehingga tampak celana dalam yang kebesaran/longgar. Kaki kirinya lurus sedangkan kaki kanannya ditekuk dan agak melebar. Kuperhatikan itu khan celana dalam istriku yang lama dan udah nggak dipakai lagi, karena sudah berlubang di bagian depannya; berlubang bukan karena tajamnya rudalku, tetapi istriku pernah mens, terus tembus; atau mungkin karena perekatnya yang terlalu kuat, lama kelamaan bahannya menipis, nah aku nyucinya terlalu kuat hingga berlubang, dan nggak dipakai lagi oleh istriku. Aku nggak tahu disimpan di mana dan akhirnya ditemukan oleh prt-ku dan saat ini sedang dipakai.
Dengan celana dalam longgar dan berlubang itu nampak belahan vaginanya yang bulat dan tak terlihat labia minor-nya, karena usianya yang masih belia, tampak beberapa bulu kemaluan yang halus dan hanya beberapa lembar saja.
Pandanganku bergerak ke atas. Tampak bajunya tersingkap ke atas juga. Bra-nya terangkat ke atas sehingga cupnya tidak menutupi payudaranya. Koq bra yang baru nggak dipakai? Itu khan bra yang lama; mungkin tadi suasana sebelum hujan lumayan panas hingga tanpa sengaja, tergerak untuk mengangkatnya. Payudaranya lumayan juga, nggak putih cuman mulus dan area sekitar puting coklat muda, dengan puting coklat muda sekali; mungkin lagi mekar-mekarnya, tampak beberapa bagian berwarna pink. Jakun ku bergerak naik turun.
Beberapa saat aku ingat, beberapa hari lalu saat kedua mertuaku datang, istriku sedang melakukan percakapan dengan ibu mertuaku yang tak sengaja ku dengar.
“Kamu hati-hati sama babumu itu,” kata ibu mertuaku yang mempunyai darah biru, nama depannya masih menggunakan RA, dan bapak mertua RM, sementara istriku Rr. Dia memang agak nggak begitu senang dengan prt-ku, nggak tahu kenapa. Makanya kalau ngomong suka kasar banget sama prt-ku.
“Iya bu, tetapi namanya laki-laki bu, bisa aja di rumah kalem penuh perhatian, kita nggak tahu kalau di luar. Ibaratnya kalau sudah semeter keluar rumah khan bujangan lagi” kata istriku, aku tersenyum mendengarkannya.
“Betul itu, tetapi tetap kamu jaga, jangan sampai pagar makan tanaman,” kata ibu mertuaku.
“Yah, kita sudah komit, saling percaya. Yah terserah dia kalau mau menyalah gunakan kepercayaan yang aku berikan,” jawabnya diplomatis.
Akal sehatku ternyata masih berfungsi. Pilih mana, “perang dunia ke tiga” atau “kenikmatan sejenak”. Untung sering melakukan “pengeluaran” di luar, sehingga dapat menahan laju nafsu birahiku dan berpikir jauh. Segera aku ambil yang kuperlukan dan kembali ke kantor. Sorenya pulang dan seperti biasa lagi. Tapi memang dasar otak kotor, tiap melihat dia, bayanganku selalu aja ke kejadian tadi siang, sepertinya dia berjalan telanjang!!!
Keesokan harinya, aku bangun dan terasa seger sekali pagi hari itu, saat aku akan terlentang (aku biasa tidur telungkup), koq ada yang licin di kemaluanku. Belum sempet aku buka celanaku, tampak di bedcover ada sesuatu yang basah, piyamaku juga basah. Selagi bingung memperhatikan yang basah-basah tadi, tiba-tiba istriku sudah ada di sisi tempat tidur dan geleng-geleng kepala, sambil njewer kupingku.
“Ngimpi sama siapa, he?” tanyanya.
“Eh eh, enggak jelas ma, wajahnya,” jawabku.
“Aku nggak tanya wajahnya, SIAPA ORANGNYA?” tanyanya lagi, sambil menjewerku lebih keras lagi.
“Iya, ampun, ampun, sama mama, baru aku ingat, sama mama,” kataku berbohong. Aku baru ingat kalau aku ngimpi sama prt-ku; GILA. Tapi asli, susah banget merawaninnya, tapi dalam mimpi, sampai-sampai karena susahnya belum masuk udah keluar duluan - peltu gitu, yaitu yang sekarang lagi basah semua ini - jangan-jangan gara-gara lihat kemarin siang nih.
Memang sih udah lama aku nggak melakukan hubungan “timsuis” (hubungan intim suami istri). Akhirnya pagi itu juga aku dilayanin oleh istriku. Ternyata enak juga yah, breakfast dalam bentuk “timsuis”. Rasanya seperti robot miliknya keponakanku yang baru diisi battery baru - Full Power. Setelah selesai kita mandi dan kumasukan semua pakaian kotor ke dalam ember pakaian kotor dan ke kantor bersama-sama.
Akibat kejadian itu, istriku membuat kalender “timsuis”, yakni setiap Kamis malam, dan Minggu malam. Kecuali ada yang mendesak maka dengan kesepakatan bersama dilakukan di luar perjanjian, karena akan pergi melakukan perjalanan dinas atau sebaliknya. Jadwal tersebut tidak mengikat bila salah satunya kurang sehat atau datang bulan, maka bisa dibatalkan.
Beberapa minggu, tidak ada kejadian yang menarik, hanya kedatangan kedua orangtuaku dan kedua mertuaku, hingga suatu hari istriku menemukan pembantuku sakit dan membawa ke praktek dokter terdekat. Pulang dari sana, masuk ke rumah, aku dipanggil istriku dan diajak ke dalam kamar tidur.
“Pa, Mimin hamil,” katanya sambil menatap tajam bola mataku, penuh selidik.
“Lho koq bisa?” tanyaku.
“Ya bisa, dia khan udah mens, masalahnya di rumah ini laki-lakinya hanya kamu,” katanya lagi.
Aku berpikir sejenak, masak sih, pakaian kotorku waktu itu, setelah mimpi basah, kemudian dicuci olehnya menyebabkan hamil. Ah nggak mungkin lagi, khan udah mati benihnya terkena udara bebas.
“Ngaku aja pa,” kata istriku, mengagetkan lamunanku.
“Ngaku gimana, aku nggak ngapa-ngapain koq,” kataku sambil tersenyum geli. Gimana nggak geli ngelihat bola matanya memandangku melotot seakan mau keluar, terlihat juga kilatan cemburunya, mungkin sudah tingkat emosi.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak akan menamparku. Segera aku tangkap, dan kupeluk tubuhnya. Dia meronta-ronta. Aku jatuhkan dia ke atas tempat tidur. Aku kunci tubuhnya.
“Aku jijik sama kamu, pa, jijik. Jangan sentuh aku,” katanya mencoba melepaskan diri. Aku longgarkan kuncianku. Segera dia melepaskan dan pergi ke kamar mandi. Aku tahu, dia bukan ingin buang hajat, tetapi melepaskan kesedihannya di sana, menyembunyikan diri, dan menguras air matanya, dan esoknya tampak kelopak mata akan terlihat cekung -kebiasaan dia dari gadis- aku tahu itu.
Aku bingung juga, nggak makan nangka dapet getahnya. Segera aku temuin Mimin. Aku cari dia. Ternyata ada di dalam kamarnya. Kupanggil agar segera ke ruang tamu, kalau aku mengintrogasinya di kamarnya, semakin berat tuduhanku.
Setelah ke ruang tamu,
“Min, kamu melakukannya sama siapa?” tanyaku. Aku lirik istriku sudah keluar dari kamar mandi, dan berjalan ke ruang tamu dan ikut bergabung dengan kita.
Bukannya menjawab, malah semakin deras air matanya. Repotnya urusan sama wanita nih gini ini, kalau udah terdesak, keluar deh air matanya. Diajak dialog seperti apa juga jawabnya sama, diam dan menangis.
Ya sudah. Aku tinggalkan mereka berdua. Aku segera pergi ke kantor sendiri. Pulang kantor suasana rumah nggak kondusif, nggak rame, nggak ada canda. Makan sih bersama, nonton tv juga, tapi semua diam, mana malam itu jadwal “timsuis” lagi, apes. Tersiksa, jadi terdakwa, kalau dilihat dari alat bukti sih udah jelas dia hamil, dan penyebabnya pasti seorang laki-laki, dan di rumah ini hanya aku laki-lakinya. Kalau orang luar kemungkinan kecil mengingat dia jarang keluar. Ya tapi aku khan nggak berbuat, ah pusing.
Aku mau tidur aja deh, mau masuk ke kamar tidur, udah dikunci duluan, apes lagi deh. Terpaksa tidur di sofa di depan televisi dan masih menggunakan pakaian kerja.
Keesokan harinya, di sore hari aku lihat ada kakak-kakak iparku datang. Wah nggak enak juga nih, urusan dalam negri melibatkan pihak asing. Tetapi demi kebenaran, nggak apa-apa deh, yang jelas para orang tua nggak diundang. Nggak enak khan udah tua masih aja ngurusin anaknya. Udah gitu urusan ginian lagi, apalagi bila ibu mertuaku tahu, habis deh aku disemprot.
Akhirnya kita berdialog. Dialog sesama lelaki itu lebih nyaman walau kadang ada yang terbawa emosi. Ada yang mutuskan aku cerai dengan istriku dan aku disuruh tanggung jawab. Ada yang usul lihat aja kalau udah lahir, test dna-nya, pokoknya debat seru, bukan debat kusir.
Pada intinya aku bilang bahwa aku masih mencintai istriku, dan aku nggak “berbuat” dengan prt-ku. Aku kemukakan juga pendapat kalau aku mau selingkuh buat apa sama prt-ku. Memangnya di luar nggak ada yang “lebih baik”, memangnya aku nggak punya “modal” untuk berbuat; istriku malah melotot menatapku; biarin habis kesel banget dituduh terus-terusan.
Akhirnya diputuskan, demi kemanusiaan biarin deh prt-ku tetap kerja, dan biaya persalinan ditanggung olehku. Khan sebagai terdakwa. Dan nanti akan ditest dna-nya. Sementara itu tidak ada percerian, tetapi tetap perang dingin. Jadi kita menunggu proses persalinan saja.
Hari demi hari berlalu, dan hari ini, aku gajian. Seperti biasa kalau gajian aku serahkan semua buat istri, tetapi karena lagi perang dingin, aku nggak serahin. Karena ada suara telpon, aku pergi untuk mengangkat telpon di ruang keluarga dan amplop gaji aku letakkan di meja rias di kamar tidur. Sekembalinya dari telpon, eh tuh amplop udah ilang. Kucari istriku sudah masuk ke kamar mandi.
Segera aku periksa map keuangan rumah tangga. Istriku selalu memasukkan uang gajian kita berdua ke dalam amplop yang sudah disediakan untuk pos-pos pengeluaran; mulai dari cicilan, biaya telekomunikasi, biaya kesehatan, biaya dapur, jajan, tabungan, asuransi, ngasih ortu hingga biaya tak terduga. Kita memang sepakat untuk disiplin anggaran, lebih boleh ke dugem, kalau nggak ya di rumah aja. Anggaran dibuat untuk satu tahun, dan disepakati bersama.
Setelah istriku selesai mandi giliran aku mandi. Uh udah lama nggak “timsuis” ngeliat istri habis mandi keluar dari kamar mandi hanya ditutupi selembar handuk aja udah langsung protes nih “adik”ku. Aku segera masuk dan mandi, sambil mandi aku mikir, waktu aku letakkan amplop gaji dengan masuknya uang ke amplop-amplop pengeluaran, koq cepet bener yah. Dasar perempuan, perang dingin sih perang dingin, urusan uang mah tetap, disikat juga.
Kalau aku pikir-pikir, aku ini bayarnya bulanan, bukan jam-jaman, tetapi sekarang bayar mah tetep, makenya nggak, dasar apes. Yah udahlah besok aja dimasturbasi. Tetapi memang kalau lagi untung nggak kemana-mana. Paginya aku wetdream lagi. Sebentar, aku replay dulu sama siapa yah? Hah, sama bosku. Gila, diprogram aja nggak lho. Oh, mungkin saat aku meeting anggaran, dia menerangkannya aku nggak konsen dan mikir ke yang lain, maklum udah lama aku nggak “timsuis”. Karena lagi perang dingin, jadi nggak dijewer lagi, dia hanya melirik terus buang muka; dalam hatiku salah sendiri kenapa nggak dikasih, khan jadi gini akhirnya.
Malamnya aku nonton tv, biasa bertiga, tetapi yang bersuara hanya televisinya aja, sementara tiga manusia matanya menatap televisi tetapi nggak tahu ke mana arah pikirannya[a1].
Tak berapa lama istriku nggak kuat ngantuk. Dia pergi tidur dan mengunci kamar tidur. Tinggallah kita berdua. Aku coba untuk bicara dengan prt-ku, aku kecilkan suara tvnya.
“Mimin, kalau kamu nggak mengatakan siapa laki-laki itu, toh lama kelamaan akan ketahuan. Nanti kalau bayimu lahir akan ditest darahnya, dan itu bisa ketahuan siapa bapaknya!” kataku. Dianya hanya menunduk diam.
“Min, coba lihat suasana rumah sudah nggak enak khan, aku didiemin sama ibu, ibu menuduh bapak, karena hanya aku sendiri yang laki-laki di sini!” kataku. Dianya diam aja.
“Tolong bantuin aku dengan mengatakannya siapa lelaki itu, Min,” kataku lagi. Dianya diam lagi.
“Kamu melakukannya sama tukang kebun sebelah atau sopir di depan?” tanyaku. Dianya diam aja. Capek ngomong sama patung, ya aku diam aja, nanti kalau ditekan malah semakin nangis.
“Saya takut pak untuk mengatakannya,” tiba-tiba dia mengeluarkan suaranya, tetapi tetap menunduk.
“Takut sama siapa?” tanyaku, berhasil juga rayuanku.
“Takut sama ibu,” jawabnya, masih menunduk.
“Nah sekarang ibu khan udah tidur?” rayuku.
“Sama mbah kakung,” jawabnya dengan tertunduk. HAAAHH.
“Mbah kakungnya bapak apa ibu?” tanyaku.
“Mbah kakungnya ibu!” jawabnya sambil melihatku dan menunduk lagi.
“Kamu yakin?” tanyaku.
“Yakin pak,” jawabnya sembari mengangguk. Ah lega lah, mungkin beberapa saat lagi aku akan bebas dan dapat menikmati tubuh istriku, senangnya, tetapi gimana mbuktiinnya yah?
“Bisa nggak kamu jelasin kejadiaannya?” tanyaku. Dia diam aja, mungkin malu, atau pahit mengenang kejadian itu.
“Kalau kamu keberatan yah sudah nggak apa-apa, tetapi akan sulit untuk membuat orang lain percaya padamu. Saat ini boleh dibilang kita ini senasib, Min. Kamu merasakan kepahitan hidup dengan hamil tanpa suami, sementara aku dituduh berbuat sama kamu dan aku jadi terdakwa,” kataku lemah.
“Waktu itu Mimin sedang membersihkan lantai,” jawabnya tiba-tiba. Aku diam, menunggu penjelasannya lebih lanjut.
“Mbah kakung sedang nonton televisi, mbah putri sedang tidur di ruang tidur tamu (BO70: dia sedang terapi, saat dia meminum obatnya maka dia akan tertidur pulas; ada petir juga nggak bakalan bangun; karena kata dokter dia harus banyak istirahat). Saat saya membersihkan lantai, dia merhatiin saya terus pak. Selesai membersihkan lantai, Mimin mandi. Setelah mandi, Mimin masuk ke kamar. Belum sempat pintu kamar tidur Mimin tertutup rapat, tiba-tiba mbah kakung masuk, dan Mimin “ditindih” di kamar Mimin,” jelasnya tertunduk sambil menangis, ingat kejadian itu.
“Kamu kenapa nggak ngelawan atau teriak?” kataku.
“Udah pak, waktu itu hujan lagi lebat, lagian mbah putri kalau tidur khan pules bener,” katanya tertunduk, sambil menghapus air matanya dengan ujung bajunya.
“Berapa kali sama mbak kakung?” tanyaku.
“Yah cuman sekali itu,” jawabnya malu-malu.
“Sakit nggak?” tanyaku. GOBLOK, ngapain aku nanya yang kayak gitu, khan malu kalau wanita ditanya soal gituan.
“Nggak,” jawabnya singkat sambil melihatku, tampak sudah kering air matanya. Kaget juga aku kalau dia mau menjawab.
“Cuman merasa jijik aja sama kumis nya yang kasar, sama cairan yang menempel di sini,” katanya lagi sambil mennunjukkan kemaluannya.
“Kamu sudah pernah melakukan seperti itu sebelumnya?” kataku. “Belum pernah?” tanyaku untuk memancingnya.
“Bener, apa nggak punya keinginan?” jawabnya.
“Nggak pak, Mimin lihat keluarga Mimin berantakan seperti itu, makanya Mimin nggak mau kawin dulu, trauma. Makanya saya senang kerja di sini, biar nggak lihat suasana rumah di kampung. Kalau uangnya kumpul dan Mimin sudah nggak dibutuhkan Mimin mau dagang di kampung, dan kontrak rumah sendiri,” Katanga.
Aku berpikir, dia disetubuhi hanya sekali, nggak merasa sakit, ehh.
“Min, waktu kejadian itu kamu telanjang nggak? Maaf Min aku nanya ini maksudnya sebagai bahan untuk membela kamu, jadi kamu jangan salah paham,” kataku.
Tidak segera dijawab, dia melihat aku dulu, kemudian.
“Waktu itu khan habis mandi pak, mana sempat pakai baju!” jawabnya. Oh iya yah, Goblok kwadrat deh aku, maklum bentar lagi bebas jadi terdakwa, jadi processor mmxku, ada sedikit illegal operation.
“Mbah kakung…,” kataku terputus, gimana yah aku njelasin, ah udah lah cuek, “memasukkan kemaluannya ke ‘punyamu’ nggak?” tanyaku.
“Ya, dia berusaha pak, cuman karena saya meronta, nggak keburu masuk, tapi nggak lama saya merasakan ada cairan hangat yang membasahi punya saya pak. Ih jijik,” jawabnya. Kalimat terakhirnya hampir tak terdengar, euh, mulai lupa deh sama sedihnya.
Duh, jawabannya polos banget, ndengerin dia cerita, aku merasa geli ya ngaceng. Tapi dengan demikian aku dapat gambaran yang cukup jelas.
Keesokan harinya, aku mencoba menghubungi kakak-kakak iparku, dan melakukan rapat keluarga lagi setelah pulang kerja. Pertama mereka meragukan informasi yang aku berikan. Akhirnya setelah melakukan pemeriksaan ke dokter terdekat –sebelumnya Mimin menolak diperiksa selaput daranya, bila dokternya pria, hingga kita berusaha memenuhi keinginannya mencari dokter wanita. Terbukti bahwa dia masih perawan– percayalah mereka bahwa apa yang aku ceritakan adalah benar. Sekarang tinggal bagaimana menceritakan kepada istriku, yang jelas jangan kepada ibu mertuaku, bisa kelenger dia kalau mendengarkan berita ini. Juga kelanjutan nasibnya Mimin dan melakukan konfirmasi ke bapak.
Akhirnya diputuskan bahwa untuk membicarakan ke bapak melalui kakak iparku yang wanita, sedangkan untuk istriku lewat kakak iparku yang pria dan tertua. Untuk Mimin diputuskan dia tetap tinggal denganku sedangkan bila selesai persalinan anaknya diambil oleh kakak iparku yang tertua yang kebetulan belum memperoleh keturunan hingga kini.
Malamnya suasana mulai agak berubah. Yang jelas istriku malu banget sama aku yang telah menuduhku yang bukan-bukan, hingga dia pun malu menegorku duluan. Walaupun posisiku sudah menang tetapi bukan berarti semena-mena. Aku coba berkomunikasi dengannya. Saat malam aku mau tidur aku coba membuka kamar tidur. Eh ternyata enggak dikunci. Ah sudah lampu hijau nih.
Aku masuk dan segera ke tempat tidur. Aku merayunya, berusaha memanaskan tubuhnya. Aku belai, tanpa penetrasi kecuali diperintah, foreplay selama mungkin, perlahan. Malam itu kita melakukan hubungan “timsuis” nggak seperti biasanya, layaknya malam pengantin baru saja, maklum sudah hampir sebulan ini aku nggak melakukannya, dan kita melakukannya hingga beberapa kali. Memang rasanya lain bila melakukan hubungan “timsuis” setelah berpisah karena perjalanan dinas. Apalagi bila habis bertengkar kemudian baikan lagi, rasanya bener-bener meresap. Seperti ikan bandeng presto, bumbunya meresap dan tulangpun jadi lunak, bisa di mam lagi.
Akhirnya suasana rumah kita ceria kembali. Hingga Mimin bersalin ibu mertua tidak mengetahui kalau dia punya anak tiri, sementara istriku senang sekali punya momongan, adiknya yang terkecil (??); khan benih dari bokapnya. Tidak ada itu namanya ANAK HARAM, semua anak terlahir dengan SUCI.
Kita menempati sebuah rumah mungil dengan dua kamar tidur, yang terdiri dari satu kamar agak besar untuk kita di bagian depan, sementara yang satu lagi di bagian belakang dengan ukuran sedang dicadangkan untuk anak kita kelak; kita berniat ingin mempunyai anak satu saja.
Karena kita belum mempunyai anak, maka kamar tersebut lebih sering digunakan sebagai kamar tamu. Sementara itu kamar prt (pembantu rumah tangga) ada di bagian belakang. Istriku adalah anak bungsu dari lima bersaudara, sementara aku adalah anak nomor tiga dari enam bersaudara - karena kita berdua dari keluarga besar, dengan alasan inilah kita ingin mempunyai anak tunggal saja.
Pembantu rumah tanggaku telah berganti beberapa kali, mungkin tetangga melihat kita berdua itu seperti apa gitu, galak, jahat, atau sejenisnya. Kita berdua sepakat sebelum mempekerjakan prt bahwa tidak akan mempekerjakan prt yang telah berumur. Selain risih menyuruh orang tua, juga gimana sih kalau minta tolong sama orang yang berumur, nggak tega. Walaupun dia prt, khan manusia juga. Biasanya prt yang telah berumur memang tidak sekuat yang muda, tetapi lebih telaten, dan biasanya masakannya lumayan enak.
Kemudian diusahakan jangan yang janda. Ini permintaan istriku sendiri. Alasannya membuat aku ketawa, dia bilang kalau janda khan udah pernah merasakan hubungan intim, terus kalau pas lagi “nafsu”, khan bisa repot. Repotnya, dia bisa “main” sama tetangga, terus mainnya di rumah kita, khan jadi kacau urusannya. Kalau prianya baik. Kalau nggak? bisa terkuras habis deh, isi rumah. Apalagi bila sampai aku digoda juga, katanya sambil memencet hidungku.
Pernah dapat pembantu dari suatu yayasan. Ternyata belum ada satu minggu sudah nggak betah. Akhirnya diganti oleh yayasan tanpa keluar biaya lagi. Nampaknya kejadian itu berulang, hingga akhirnya kita putusin tidak pakai prt, karena setiap ganti khan kita ngasih pengarahan pekerjaannya. Lha kalau tiap minggu ganti khan sama aja dengan kita yang mengerjakannya.
Karena kesibukan kantor, nampaknya kita nggak sanggup melakukan pekerjaan rumah lagi. Bayangin nyuci baju digabung dalam satu minggu dikerjakan hari sabtu, khan lumayan tuh. Aku yang nyuci istriku kebagian nyetrika pakaian seminggu. Dia yang masak apa adanya dan aku yang nyuci piring. Dia yang nyapu aku yang ngepel. Pertama sih biasa lama kelamaan nggak sanggup juga.
Kita dapet info ada tempat pengelolan prt (bukan yayasan). Yah kita coba. Kita ambil satu orang, sampai rumah sudah agak malam, eh, besok paginya udah hilang, ninggalin surat bahwa dia disekap sama pengelola itu, dan ngambil uang belanja di dekat kulkas, untuk pulang kampung katanya, sembari mengucapkan maaf dan terima kasih. Istriku geleng-geleng.
Yah, balik lagi kerja sendiri lagi. Ternyata lebih capek mengerjakan pekerjaan rumah yang nggak pernah ada habisnya. Makanya aku salut sama para ibu rumah tangga yang sehari-hari pekerjaannya ngurusin rumah yang kerja dari pagi hari sebelum matahari terbit hingga jauh malam hari - yang masak untuk keluarganya, yang dandan untuk suaminya (kalau pekerja khan dandannya bukan untuk suami, terus kalau di rumah pakaiannya seadanya, tul nggak?), yang memperhatikan semua anak-anaknya (hanya saat sekolah saja, dia tidak melihat), yang menyambut bila suami pulang kerja dengan cantiknya (khan cantik untuk suami), yang melayani kebutuhan suaminya dengan sepenuh hati.
Akhirnya kitapun dapat rejeki. Sebelah rumahku sedang memperbaiki rumah, saat istirahat siang selagi bicara masalah bangunan salah satu tukangnya menawarkan keponakannya untuk bekerja di rumahku; kalau sekedar merawat rumah dan bersih-bersih sih bisa katanya, hanya tidak bisa masak. Karena pengalaman dikerjain prt, aku coba menanyakan ke tetanggaku; si pemilik rumah, kenal nggak dengan tukang yang menawarkan prt itu. Ternyata dia kenal, karena perusahaannya mempekerjakan tukang itu (perusahaan tetanggaku bergerak di arsitektur), dan sedang dipinjam untuk memperbaiki rumahnya.
Aku dan istriku setuju untuk mengambilnya, saat dia pulang kampung dia mengajak keponakannya itu. Anaknya masih kecil, umurnya sekitar 16 tahun, hitam kelam, rambut ikal, kakinya nampak banyak bekas luka, agak kurus, seperti nggak terawat.
Sebelum pulang pak tukang, mengatakan bahwa dia menitipkan keponakannya untuk kerja di sini, mohon untuk dididik perilakunya, terasa lebih kekeluargaan ketimbang bisnis di yayasan tadi. Kalau dirasa nggak cocok, bisa hubungi di kantor tetanggaku dan dia akan membawanya kembali ke kampung. Sambil pamit aku memberikan uang pengganti transport yang dikeluarkannya.
Seperti biasa istriku memberikan contoh apa saja yang akan dikerjakan, tentunya bertahap, tidak sekaligus, biar dia nggak bingung. Hasil kerjanya cukup lumayan; rumah selalu bersih, pakaian tertata rapi. Biasanya aku sama istriku suka berantem nyari pakaian yang satu di mana, pasangannya di mana, kadang ada yang belum disetrika, kadang lupa belum diangkat dari jemuran di lantai atas). Kondisi saat ini boleh dibilang sudah lebih baik buat kita. Soal masak, karena prt-ku nggak bisa masak, jadi kita catering aja. Istriku juga nggak bisa masak, jadi dia nggak bisa ngajarin prt-ku (Istri yang sempurna khan harus 3M, macak/berias, masak, dan manak/hamil. Di sini m1 bagus, m2nya nggak bisa, tinggal m3 tunggu tanggal mainnya).
Tidak terasa udah sebulan. Mudah-mudahan dia betah lama tinggal di sini, soalnya nyari prt itu gampang-gampang susah. Dari istriku, aku tahu bahwa dia meninggalkan kampungnya karena bapaknya kawin lagi dan ikut dengan istrinya yang baru, sementara ibunya (adiknya tukang bangunan tadi) yang belum sempat dicerai pacaran dengan pria beristri. Runyamlah suasana rumahnya bila kedatangan istri pacar ibu-nya. Selain malu dengan tetangga, juga suasana rumah juga mendukung untuk meninggalkan kampung, sementara untuk ke bapak, sepertinya lebih berat dengan istri barunya ketimbang sama anaknya. Oleh sebab itu dia sangat senang dengan bekerja di tempatku.
Karena kerajinannya, istriku memberikan beberapa fasilitas padanya, mulai peralatan mandi untuknya, termasuk pembalut wanita, juga memberikan beberapa kosmetika bekas istriku yang masih bisa dipakai (hampir habis; tadinya oleh istriku sudah mau dibuang justru dia yang meminta), juga diberikan pakaian tidur. Semakin senang lah dia tinggal di rumahku. Dia juga jarang bergaul dengan para prt tetanggaku; ini merupakan keuntungan buatku, karena tidak tertutup kemungkinan ngerumpinya para prt, bisa membuat prt-ku loncat ke tetanggaku yang lain karena tergiur gaji yang lebih besar. Juga dengan lelaki, sepertinya dia anti laki-laki banget, mungkin karena di kampungnya dia punya masalah dengan beberapa laki-laki.
Lama kelamaan perubahan mulai terjadi. Yang tadinya dia datang kurus, hitam, pokoknya seperti orang nggak keurus, saat itu, sekarang udah agak berisi malah udah agak bulet badannya - mungkin perbaikan gizi. Kulitnyapun sudah tidak sehitam waktu baru datang, bisa jadi karena jarang keluar rumah, jadi nggak kejemur (dulu di kampung dia sering ke sawah). Udah gitu pakai handbody bekas istriku segala. Udah deh, asli berubah total. Pamannya aja sampai nggak ngenali sewaktu datang berkunjung.
Apalagi kalau lagi ngepel lantai (kita berdua, aku dan istriku nggak pernah ngepel dengan tongkat, tetapi dengan cara merangkak, selain lebih bersih, juga hitung-hitung olah raga - cara ini juga diterapkan ke prt), sepasang bukit kembarnya berguncang; sejalan dengan semakin bulatnya bentuk tubuhnya, payudaranyapun ikut berkembang, khan proporsional.
Pernah nih, dia pakai bra-nya, mungkin udah nggak muat kali, pentilnya kelihatan dibalik kaos tipisnya. Wah istriku, langsung menegurnya.
“Kamu pakai bajunya yang sopan, dong Min,” kata istriku. Mimin nama prt-ku.
“Habis punyanya hanya ini bu.”
Karena bra-nya ukuran untuk cup “A”, sementara saat ini sudah mencapai cup “C”, jadilah seksi banget gitu. Kita (aku dan istriku) tahu bahwa dia tidak mengada-ada, soalnya anaknya memang lugu (bukan lu-lu, gue-gue, lho), apa adanya.
Ditanya sama istriku kenapa kamu koq nggak belanja bra baru dengan gajimu.
“Sayang bu, rencananya uangnya nanti buat modal jualan di kampung aja, ya saya pakai apa adanya saja,” jawabnya polos.
Ternyata dia punya rencana. Bila sudah tidak diperlukan oleh kita lagi dia ingin wiraswasta, katanya. Hebat juga pikirannya; kataku dalam hati. Oleh sebab itu dia sayang banget dengan uang yang dia peroleh. Uangnya ditabung di Bank Capek Antri, dekat rumahku. Karena pekerjaannya bagus dan rajin, istriku menghadiahkan beberapa bra dan pakaian baru yang dia beli di pasar. Seneng banget dia menerimanya.
Pernah suatu siang hari aku menemukan dia sedang tertidur di ruang tamu sambil nonton televisi, atau lebih tepatnya televisi nonton dia tidur. Memang suasananya mendukung banget, siang hari, capek habis mencuci dan menyetrika, habis makan siang, hujan turun deras, sambil nonton telenovela, yah udah telap - tidur lelap.
Dia nggak tahu kalau aku datang. Aku dan istriku masing-masing pegang kunci rumah dan kamar tidur, sementara istriku masih di kantor, aku pulang untuk mengambil berkas yang tertinggal.
Tampak dia tidurnya pules banget. Hujan cukup lebat, hingga suara jatuhnya air cukup keras. Kuperhatikan roknya sudah tersingkap sehingga tampak celana dalam yang kebesaran/longgar. Kaki kirinya lurus sedangkan kaki kanannya ditekuk dan agak melebar. Kuperhatikan itu khan celana dalam istriku yang lama dan udah nggak dipakai lagi, karena sudah berlubang di bagian depannya; berlubang bukan karena tajamnya rudalku, tetapi istriku pernah mens, terus tembus; atau mungkin karena perekatnya yang terlalu kuat, lama kelamaan bahannya menipis, nah aku nyucinya terlalu kuat hingga berlubang, dan nggak dipakai lagi oleh istriku. Aku nggak tahu disimpan di mana dan akhirnya ditemukan oleh prt-ku dan saat ini sedang dipakai.
Dengan celana dalam longgar dan berlubang itu nampak belahan vaginanya yang bulat dan tak terlihat labia minor-nya, karena usianya yang masih belia, tampak beberapa bulu kemaluan yang halus dan hanya beberapa lembar saja.
Pandanganku bergerak ke atas. Tampak bajunya tersingkap ke atas juga. Bra-nya terangkat ke atas sehingga cupnya tidak menutupi payudaranya. Koq bra yang baru nggak dipakai? Itu khan bra yang lama; mungkin tadi suasana sebelum hujan lumayan panas hingga tanpa sengaja, tergerak untuk mengangkatnya. Payudaranya lumayan juga, nggak putih cuman mulus dan area sekitar puting coklat muda, dengan puting coklat muda sekali; mungkin lagi mekar-mekarnya, tampak beberapa bagian berwarna pink. Jakun ku bergerak naik turun.
Beberapa saat aku ingat, beberapa hari lalu saat kedua mertuaku datang, istriku sedang melakukan percakapan dengan ibu mertuaku yang tak sengaja ku dengar.
“Kamu hati-hati sama babumu itu,” kata ibu mertuaku yang mempunyai darah biru, nama depannya masih menggunakan RA, dan bapak mertua RM, sementara istriku Rr. Dia memang agak nggak begitu senang dengan prt-ku, nggak tahu kenapa. Makanya kalau ngomong suka kasar banget sama prt-ku.
“Iya bu, tetapi namanya laki-laki bu, bisa aja di rumah kalem penuh perhatian, kita nggak tahu kalau di luar. Ibaratnya kalau sudah semeter keluar rumah khan bujangan lagi” kata istriku, aku tersenyum mendengarkannya.
“Betul itu, tetapi tetap kamu jaga, jangan sampai pagar makan tanaman,” kata ibu mertuaku.
“Yah, kita sudah komit, saling percaya. Yah terserah dia kalau mau menyalah gunakan kepercayaan yang aku berikan,” jawabnya diplomatis.
Akal sehatku ternyata masih berfungsi. Pilih mana, “perang dunia ke tiga” atau “kenikmatan sejenak”. Untung sering melakukan “pengeluaran” di luar, sehingga dapat menahan laju nafsu birahiku dan berpikir jauh. Segera aku ambil yang kuperlukan dan kembali ke kantor. Sorenya pulang dan seperti biasa lagi. Tapi memang dasar otak kotor, tiap melihat dia, bayanganku selalu aja ke kejadian tadi siang, sepertinya dia berjalan telanjang!!!
Keesokan harinya, aku bangun dan terasa seger sekali pagi hari itu, saat aku akan terlentang (aku biasa tidur telungkup), koq ada yang licin di kemaluanku. Belum sempet aku buka celanaku, tampak di bedcover ada sesuatu yang basah, piyamaku juga basah. Selagi bingung memperhatikan yang basah-basah tadi, tiba-tiba istriku sudah ada di sisi tempat tidur dan geleng-geleng kepala, sambil njewer kupingku.
“Ngimpi sama siapa, he?” tanyanya.
“Eh eh, enggak jelas ma, wajahnya,” jawabku.
“Aku nggak tanya wajahnya, SIAPA ORANGNYA?” tanyanya lagi, sambil menjewerku lebih keras lagi.
“Iya, ampun, ampun, sama mama, baru aku ingat, sama mama,” kataku berbohong. Aku baru ingat kalau aku ngimpi sama prt-ku; GILA. Tapi asli, susah banget merawaninnya, tapi dalam mimpi, sampai-sampai karena susahnya belum masuk udah keluar duluan - peltu gitu, yaitu yang sekarang lagi basah semua ini - jangan-jangan gara-gara lihat kemarin siang nih.
Memang sih udah lama aku nggak melakukan hubungan “timsuis” (hubungan intim suami istri). Akhirnya pagi itu juga aku dilayanin oleh istriku. Ternyata enak juga yah, breakfast dalam bentuk “timsuis”. Rasanya seperti robot miliknya keponakanku yang baru diisi battery baru - Full Power. Setelah selesai kita mandi dan kumasukan semua pakaian kotor ke dalam ember pakaian kotor dan ke kantor bersama-sama.
Akibat kejadian itu, istriku membuat kalender “timsuis”, yakni setiap Kamis malam, dan Minggu malam. Kecuali ada yang mendesak maka dengan kesepakatan bersama dilakukan di luar perjanjian, karena akan pergi melakukan perjalanan dinas atau sebaliknya. Jadwal tersebut tidak mengikat bila salah satunya kurang sehat atau datang bulan, maka bisa dibatalkan.
Beberapa minggu, tidak ada kejadian yang menarik, hanya kedatangan kedua orangtuaku dan kedua mertuaku, hingga suatu hari istriku menemukan pembantuku sakit dan membawa ke praktek dokter terdekat. Pulang dari sana, masuk ke rumah, aku dipanggil istriku dan diajak ke dalam kamar tidur.
“Pa, Mimin hamil,” katanya sambil menatap tajam bola mataku, penuh selidik.
“Lho koq bisa?” tanyaku.
“Ya bisa, dia khan udah mens, masalahnya di rumah ini laki-lakinya hanya kamu,” katanya lagi.
Aku berpikir sejenak, masak sih, pakaian kotorku waktu itu, setelah mimpi basah, kemudian dicuci olehnya menyebabkan hamil. Ah nggak mungkin lagi, khan udah mati benihnya terkena udara bebas.
“Ngaku aja pa,” kata istriku, mengagetkan lamunanku.
“Ngaku gimana, aku nggak ngapa-ngapain koq,” kataku sambil tersenyum geli. Gimana nggak geli ngelihat bola matanya memandangku melotot seakan mau keluar, terlihat juga kilatan cemburunya, mungkin sudah tingkat emosi.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak akan menamparku. Segera aku tangkap, dan kupeluk tubuhnya. Dia meronta-ronta. Aku jatuhkan dia ke atas tempat tidur. Aku kunci tubuhnya.
“Aku jijik sama kamu, pa, jijik. Jangan sentuh aku,” katanya mencoba melepaskan diri. Aku longgarkan kuncianku. Segera dia melepaskan dan pergi ke kamar mandi. Aku tahu, dia bukan ingin buang hajat, tetapi melepaskan kesedihannya di sana, menyembunyikan diri, dan menguras air matanya, dan esoknya tampak kelopak mata akan terlihat cekung -kebiasaan dia dari gadis- aku tahu itu.
Aku bingung juga, nggak makan nangka dapet getahnya. Segera aku temuin Mimin. Aku cari dia. Ternyata ada di dalam kamarnya. Kupanggil agar segera ke ruang tamu, kalau aku mengintrogasinya di kamarnya, semakin berat tuduhanku.
Setelah ke ruang tamu,
“Min, kamu melakukannya sama siapa?” tanyaku. Aku lirik istriku sudah keluar dari kamar mandi, dan berjalan ke ruang tamu dan ikut bergabung dengan kita.
Bukannya menjawab, malah semakin deras air matanya. Repotnya urusan sama wanita nih gini ini, kalau udah terdesak, keluar deh air matanya. Diajak dialog seperti apa juga jawabnya sama, diam dan menangis.
Ya sudah. Aku tinggalkan mereka berdua. Aku segera pergi ke kantor sendiri. Pulang kantor suasana rumah nggak kondusif, nggak rame, nggak ada canda. Makan sih bersama, nonton tv juga, tapi semua diam, mana malam itu jadwal “timsuis” lagi, apes. Tersiksa, jadi terdakwa, kalau dilihat dari alat bukti sih udah jelas dia hamil, dan penyebabnya pasti seorang laki-laki, dan di rumah ini hanya aku laki-lakinya. Kalau orang luar kemungkinan kecil mengingat dia jarang keluar. Ya tapi aku khan nggak berbuat, ah pusing.
Aku mau tidur aja deh, mau masuk ke kamar tidur, udah dikunci duluan, apes lagi deh. Terpaksa tidur di sofa di depan televisi dan masih menggunakan pakaian kerja.
Keesokan harinya, di sore hari aku lihat ada kakak-kakak iparku datang. Wah nggak enak juga nih, urusan dalam negri melibatkan pihak asing. Tetapi demi kebenaran, nggak apa-apa deh, yang jelas para orang tua nggak diundang. Nggak enak khan udah tua masih aja ngurusin anaknya. Udah gitu urusan ginian lagi, apalagi bila ibu mertuaku tahu, habis deh aku disemprot.
Akhirnya kita berdialog. Dialog sesama lelaki itu lebih nyaman walau kadang ada yang terbawa emosi. Ada yang mutuskan aku cerai dengan istriku dan aku disuruh tanggung jawab. Ada yang usul lihat aja kalau udah lahir, test dna-nya, pokoknya debat seru, bukan debat kusir.
Pada intinya aku bilang bahwa aku masih mencintai istriku, dan aku nggak “berbuat” dengan prt-ku. Aku kemukakan juga pendapat kalau aku mau selingkuh buat apa sama prt-ku. Memangnya di luar nggak ada yang “lebih baik”, memangnya aku nggak punya “modal” untuk berbuat; istriku malah melotot menatapku; biarin habis kesel banget dituduh terus-terusan.
Akhirnya diputuskan, demi kemanusiaan biarin deh prt-ku tetap kerja, dan biaya persalinan ditanggung olehku. Khan sebagai terdakwa. Dan nanti akan ditest dna-nya. Sementara itu tidak ada percerian, tetapi tetap perang dingin. Jadi kita menunggu proses persalinan saja.
Hari demi hari berlalu, dan hari ini, aku gajian. Seperti biasa kalau gajian aku serahkan semua buat istri, tetapi karena lagi perang dingin, aku nggak serahin. Karena ada suara telpon, aku pergi untuk mengangkat telpon di ruang keluarga dan amplop gaji aku letakkan di meja rias di kamar tidur. Sekembalinya dari telpon, eh tuh amplop udah ilang. Kucari istriku sudah masuk ke kamar mandi.
Segera aku periksa map keuangan rumah tangga. Istriku selalu memasukkan uang gajian kita berdua ke dalam amplop yang sudah disediakan untuk pos-pos pengeluaran; mulai dari cicilan, biaya telekomunikasi, biaya kesehatan, biaya dapur, jajan, tabungan, asuransi, ngasih ortu hingga biaya tak terduga. Kita memang sepakat untuk disiplin anggaran, lebih boleh ke dugem, kalau nggak ya di rumah aja. Anggaran dibuat untuk satu tahun, dan disepakati bersama.
Setelah istriku selesai mandi giliran aku mandi. Uh udah lama nggak “timsuis” ngeliat istri habis mandi keluar dari kamar mandi hanya ditutupi selembar handuk aja udah langsung protes nih “adik”ku. Aku segera masuk dan mandi, sambil mandi aku mikir, waktu aku letakkan amplop gaji dengan masuknya uang ke amplop-amplop pengeluaran, koq cepet bener yah. Dasar perempuan, perang dingin sih perang dingin, urusan uang mah tetap, disikat juga.
Kalau aku pikir-pikir, aku ini bayarnya bulanan, bukan jam-jaman, tetapi sekarang bayar mah tetep, makenya nggak, dasar apes. Yah udahlah besok aja dimasturbasi. Tetapi memang kalau lagi untung nggak kemana-mana. Paginya aku wetdream lagi. Sebentar, aku replay dulu sama siapa yah? Hah, sama bosku. Gila, diprogram aja nggak lho. Oh, mungkin saat aku meeting anggaran, dia menerangkannya aku nggak konsen dan mikir ke yang lain, maklum udah lama aku nggak “timsuis”. Karena lagi perang dingin, jadi nggak dijewer lagi, dia hanya melirik terus buang muka; dalam hatiku salah sendiri kenapa nggak dikasih, khan jadi gini akhirnya.
Malamnya aku nonton tv, biasa bertiga, tetapi yang bersuara hanya televisinya aja, sementara tiga manusia matanya menatap televisi tetapi nggak tahu ke mana arah pikirannya[a1].
Tak berapa lama istriku nggak kuat ngantuk. Dia pergi tidur dan mengunci kamar tidur. Tinggallah kita berdua. Aku coba untuk bicara dengan prt-ku, aku kecilkan suara tvnya.
“Mimin, kalau kamu nggak mengatakan siapa laki-laki itu, toh lama kelamaan akan ketahuan. Nanti kalau bayimu lahir akan ditest darahnya, dan itu bisa ketahuan siapa bapaknya!” kataku. Dianya hanya menunduk diam.
“Min, coba lihat suasana rumah sudah nggak enak khan, aku didiemin sama ibu, ibu menuduh bapak, karena hanya aku sendiri yang laki-laki di sini!” kataku. Dianya diam aja.
“Tolong bantuin aku dengan mengatakannya siapa lelaki itu, Min,” kataku lagi. Dianya diam lagi.
“Kamu melakukannya sama tukang kebun sebelah atau sopir di depan?” tanyaku. Dianya diam aja. Capek ngomong sama patung, ya aku diam aja, nanti kalau ditekan malah semakin nangis.
“Saya takut pak untuk mengatakannya,” tiba-tiba dia mengeluarkan suaranya, tetapi tetap menunduk.
“Takut sama siapa?” tanyaku, berhasil juga rayuanku.
“Takut sama ibu,” jawabnya, masih menunduk.
“Nah sekarang ibu khan udah tidur?” rayuku.
“Sama mbah kakung,” jawabnya dengan tertunduk. HAAAHH.
“Mbah kakungnya bapak apa ibu?” tanyaku.
“Mbah kakungnya ibu!” jawabnya sambil melihatku dan menunduk lagi.
“Kamu yakin?” tanyaku.
“Yakin pak,” jawabnya sembari mengangguk. Ah lega lah, mungkin beberapa saat lagi aku akan bebas dan dapat menikmati tubuh istriku, senangnya, tetapi gimana mbuktiinnya yah?
“Bisa nggak kamu jelasin kejadiaannya?” tanyaku. Dia diam aja, mungkin malu, atau pahit mengenang kejadian itu.
“Kalau kamu keberatan yah sudah nggak apa-apa, tetapi akan sulit untuk membuat orang lain percaya padamu. Saat ini boleh dibilang kita ini senasib, Min. Kamu merasakan kepahitan hidup dengan hamil tanpa suami, sementara aku dituduh berbuat sama kamu dan aku jadi terdakwa,” kataku lemah.
“Waktu itu Mimin sedang membersihkan lantai,” jawabnya tiba-tiba. Aku diam, menunggu penjelasannya lebih lanjut.
“Mbah kakung sedang nonton televisi, mbah putri sedang tidur di ruang tidur tamu (BO70: dia sedang terapi, saat dia meminum obatnya maka dia akan tertidur pulas; ada petir juga nggak bakalan bangun; karena kata dokter dia harus banyak istirahat). Saat saya membersihkan lantai, dia merhatiin saya terus pak. Selesai membersihkan lantai, Mimin mandi. Setelah mandi, Mimin masuk ke kamar. Belum sempat pintu kamar tidur Mimin tertutup rapat, tiba-tiba mbah kakung masuk, dan Mimin “ditindih” di kamar Mimin,” jelasnya tertunduk sambil menangis, ingat kejadian itu.
“Kamu kenapa nggak ngelawan atau teriak?” kataku.
“Udah pak, waktu itu hujan lagi lebat, lagian mbah putri kalau tidur khan pules bener,” katanya tertunduk, sambil menghapus air matanya dengan ujung bajunya.
“Berapa kali sama mbak kakung?” tanyaku.
“Yah cuman sekali itu,” jawabnya malu-malu.
“Sakit nggak?” tanyaku. GOBLOK, ngapain aku nanya yang kayak gitu, khan malu kalau wanita ditanya soal gituan.
“Nggak,” jawabnya singkat sambil melihatku, tampak sudah kering air matanya. Kaget juga aku kalau dia mau menjawab.
“Cuman merasa jijik aja sama kumis nya yang kasar, sama cairan yang menempel di sini,” katanya lagi sambil mennunjukkan kemaluannya.
“Kamu sudah pernah melakukan seperti itu sebelumnya?” kataku. “Belum pernah?” tanyaku untuk memancingnya.
“Bener, apa nggak punya keinginan?” jawabnya.
“Nggak pak, Mimin lihat keluarga Mimin berantakan seperti itu, makanya Mimin nggak mau kawin dulu, trauma. Makanya saya senang kerja di sini, biar nggak lihat suasana rumah di kampung. Kalau uangnya kumpul dan Mimin sudah nggak dibutuhkan Mimin mau dagang di kampung, dan kontrak rumah sendiri,” Katanga.
Aku berpikir, dia disetubuhi hanya sekali, nggak merasa sakit, ehh.
“Min, waktu kejadian itu kamu telanjang nggak? Maaf Min aku nanya ini maksudnya sebagai bahan untuk membela kamu, jadi kamu jangan salah paham,” kataku.
Tidak segera dijawab, dia melihat aku dulu, kemudian.
“Waktu itu khan habis mandi pak, mana sempat pakai baju!” jawabnya. Oh iya yah, Goblok kwadrat deh aku, maklum bentar lagi bebas jadi terdakwa, jadi processor mmxku, ada sedikit illegal operation.
“Mbah kakung…,” kataku terputus, gimana yah aku njelasin, ah udah lah cuek, “memasukkan kemaluannya ke ‘punyamu’ nggak?” tanyaku.
“Ya, dia berusaha pak, cuman karena saya meronta, nggak keburu masuk, tapi nggak lama saya merasakan ada cairan hangat yang membasahi punya saya pak. Ih jijik,” jawabnya. Kalimat terakhirnya hampir tak terdengar, euh, mulai lupa deh sama sedihnya.
Duh, jawabannya polos banget, ndengerin dia cerita, aku merasa geli ya ngaceng. Tapi dengan demikian aku dapat gambaran yang cukup jelas.
Keesokan harinya, aku mencoba menghubungi kakak-kakak iparku, dan melakukan rapat keluarga lagi setelah pulang kerja. Pertama mereka meragukan informasi yang aku berikan. Akhirnya setelah melakukan pemeriksaan ke dokter terdekat –sebelumnya Mimin menolak diperiksa selaput daranya, bila dokternya pria, hingga kita berusaha memenuhi keinginannya mencari dokter wanita. Terbukti bahwa dia masih perawan– percayalah mereka bahwa apa yang aku ceritakan adalah benar. Sekarang tinggal bagaimana menceritakan kepada istriku, yang jelas jangan kepada ibu mertuaku, bisa kelenger dia kalau mendengarkan berita ini. Juga kelanjutan nasibnya Mimin dan melakukan konfirmasi ke bapak.
Akhirnya diputuskan bahwa untuk membicarakan ke bapak melalui kakak iparku yang wanita, sedangkan untuk istriku lewat kakak iparku yang pria dan tertua. Untuk Mimin diputuskan dia tetap tinggal denganku sedangkan bila selesai persalinan anaknya diambil oleh kakak iparku yang tertua yang kebetulan belum memperoleh keturunan hingga kini.
Malamnya suasana mulai agak berubah. Yang jelas istriku malu banget sama aku yang telah menuduhku yang bukan-bukan, hingga dia pun malu menegorku duluan. Walaupun posisiku sudah menang tetapi bukan berarti semena-mena. Aku coba berkomunikasi dengannya. Saat malam aku mau tidur aku coba membuka kamar tidur. Eh ternyata enggak dikunci. Ah sudah lampu hijau nih.
Aku masuk dan segera ke tempat tidur. Aku merayunya, berusaha memanaskan tubuhnya. Aku belai, tanpa penetrasi kecuali diperintah, foreplay selama mungkin, perlahan. Malam itu kita melakukan hubungan “timsuis” nggak seperti biasanya, layaknya malam pengantin baru saja, maklum sudah hampir sebulan ini aku nggak melakukannya, dan kita melakukannya hingga beberapa kali. Memang rasanya lain bila melakukan hubungan “timsuis” setelah berpisah karena perjalanan dinas. Apalagi bila habis bertengkar kemudian baikan lagi, rasanya bener-bener meresap. Seperti ikan bandeng presto, bumbunya meresap dan tulangpun jadi lunak, bisa di mam lagi.
Akhirnya suasana rumah kita ceria kembali. Hingga Mimin bersalin ibu mertua tidak mengetahui kalau dia punya anak tiri, sementara istriku senang sekali punya momongan, adiknya yang terkecil (??); khan benih dari bokapnya. Tidak ada itu namanya ANAK HARAM, semua anak terlahir dengan SUCI.
Geen opmerkingen:
Een reactie posten